Kembang
Kertas untuk Ibu
Kruk… kruk… suara induk ayam di
ikuti anak – anaknya. Setya menaburkan butir – butir nasi basi. Ayam – ayam
berebut mematuki. Ia menatap ufuk timur yang mulai memerah. Bergegas ia
mengambil dua ember dan kayu pikulan menuju sumur menganbil air.
Setya anak laki – laki kelas
enam SD. Ayahnya buruh bangunan di Semarang yang pulang sebulan sekali. Ibunya
membuka warung bubur sambal tumpang koyor di rumah. Adik perempuan setya
bernama Rani. Seharusnya ia sudah kelas lima. Namun sejak kakinya terkena
polio, Rani tidak mau pergi ke sekolah. Ia malu di ejek teman – temannya.
Setiap fajar menyingsing, Setya
mengambil air sumur di ujung desa. Hanya sumur itu yang tetap ada airnya pada
musim kemarau seperti sekarang ini. Ia harus balik lima kali untuk memenuhi
ember pencuci piring di warung ibunya. Setelah tugasnya selesai Setya berangkat
sekolah.
Suatu ketika ember Setya bocor.
Untuk membeli ember baru Setya harus menunggu ayahnya pulang dari Semarang.
Kebetulan Ibu tidak memiliki uang sudah di gunakan berobat Rani ke Rumah Sakit.
Setya tetap melaksanakan tugasnya. Dengan ember bocornya, Setya mengambil air.
Tentu saja sampai di rumah, air yang tersisa tinggal sedikit.
Hari terus beralalu. Bulan telah
berganti. Ayah Setya belum pulang. Kata teman sewkerjany yang mampir di warung
Ibu, ayah Setya pindah ke kota lain karena bangunan di Semarang sudah selesai.
Ia hanya menitipkan sedikit uang untuk Ibu. Ibu menyimpan uang itu 8ntuk
berjaga – jaga jika Ayah tidak segera mendapatkan pekerjaan baru. Jadilah Setya
tetap menggunakan ember bocornya.
Hari minggupun Setya tetap
bangun pagi. Ia bergegas ke sumur mengambil air. Kali ini ia harus menyediakan
air lebih banyak, karena Ibu mendapat pesanan nasi dus dari tetangga.
Sebetulnya, Rani kasihan melihat betapaberat tugas Setya. Ia
ingin
membantu namun malu keluar rumah. Rani terus berdiri di balik jendela. Ia
melihat langkah kakaknya yang mulai tertatih – tatih memikul air. Aneh! Tidak
tampak sedikit pun kelelahan di wajah Setya. Ketika bertemu dengan para
tetangga, Setya tetap tersenyum ramah menyapa.
Pagi gerimis tipis turun
membasahi bumi. Setya tetap mengambil air. Wajahnya ceria meskipun seluruh
tubuhnya basah. Saat pulang, tangan kanannya menggenggam seikat kembang kertas
warna – warni. Setelah meletakkan ember di tempatnya, Setya mencari ibunya.
“Ibu, aku bawakan hadiah kembang
indah. Bukankah hari ini Ibu ulang tahun? Selamat ulang tahun, Ibu,” ujar Setya
seraya menyerahkan kembang. Ibu tertegun menatap Setya. Lalu tangannya
merengkuh kepala Setya yang basah dalam pelukannya. Air matanya menitik haru.
“Dari mana kau dapatkan kembang
– kembang ini, Setya?” Tanya ibu Setya sambil terus memeluk Setya.
“Dari pinggir jalan, Ibu. Aku
memetiknya khusus untuk Ibu.” Jawab Setya
“Oh, terima kasih. Semoga saat
Ayah pulang dua hari lagibunga ini belum layu. Ayah harus melihat hadiah ulang
tahun Ibu yang istimewa ini.”
“Ibu tidak usah kuatir. Jika
bunga ini layu, Setya akan memetik lagi. Bunga ini tumbuh subur di sepanjang
jalan menuju sumur.”
“Siapa yang menanamnya?” Tanya
Ibu penasaran. Setya tersenyum penuh arti.
“Saat air menetes dari ember
bocor, Setya berfikir saaing air
terbuang percuma. Setya melihat kembang kertas tumbuh indah di halaman rumah
Nardi. Setya minta benihnya dan menebarkannya di sepanjang jalan menuju sumur.
Setiap hati tetesan air dari ember bocor itu menyirami benih. Akhirnya muncul
tunah yang semakin hari semakin tinggi. Dengan mengamati tunas itu, Setya
merasa tidak lelah meskipun harus bolak – balik mengangkut air. Apalagi setelah
bunga – bunga bermunculan warna – warni. Wow, indah sekali, Bu!”
Rani yang dari tadi mendengarkan
pembicaraan Ibu dan Setya dari kamarnya tertegun. Hatinya terusik perkataan
Ibunya barusan.
“Jika ember bocor saja bisa
membahagiakan Ibu kenapa diriku tidak?” Keesokan paginya saat langit masih
gelap Rani tertati – tatih menyapu halaman. Ia mulai belajar keluar dari rumah
dan melakukan sesuatu yang berguna. Setelah menyapu halaman Rani pergi ke dapur
untuk mencuci piring.
“Rani, kenapa kamu tumben mau
membantu Ibu di warung?” Tanya Ibu.
“Tidak apa – apa Bu, aku ingin membantu
Ibu, aku tidak mau hanya menyusahkan Ibu saja. Aku sadar kalau sikap aku selama
ini salah Bu.” Jawab Rani sambil terus menyuci piring.
“Ngomong apa kamu ini Rani, mana
mungkin kamu menyusahkan Ibu. Kamu itu anak Ibu dan Ibu pun menyadari akan
keadaan kamu saat ini.” Tegas Ibu.
“Sudahlah Bu, sekali – kali aku
membantu Ibu kan tidak apa – apa!” Jawab Rani.
Sambil menyiapkan masakan, Ibu
menatap haru putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar