Minggu, 22 Februari 2015

CERPEN



Kembang Kertas untuk Ibu
                Kruk… kruk… suara induk ayam di ikuti anak – anaknya. Setya menaburkan butir – butir nasi basi. Ayam – ayam berebut mematuki. Ia menatap ufuk timur yang mulai memerah. Bergegas ia mengambil dua ember dan kayu pikulan menuju sumur menganbil air.
                Setya anak laki – laki kelas enam SD. Ayahnya buruh bangunan di Semarang yang pulang sebulan sekali. Ibunya membuka warung bubur sambal tumpang koyor di rumah. Adik perempuan setya bernama Rani. Seharusnya ia sudah kelas lima. Namun sejak kakinya terkena polio, Rani tidak mau pergi ke sekolah. Ia malu di ejek teman – temannya.
                Setiap fajar menyingsing, Setya mengambil air sumur di ujung desa. Hanya sumur itu yang tetap ada airnya pada musim kemarau seperti sekarang ini. Ia harus balik lima kali untuk memenuhi ember pencuci piring di warung ibunya. Setelah tugasnya selesai Setya berangkat sekolah.
                Suatu ketika ember Setya bocor. Untuk membeli ember baru Setya harus menunggu ayahnya pulang dari Semarang. Kebetulan Ibu tidak memiliki uang sudah di gunakan berobat Rani ke Rumah Sakit. Setya tetap melaksanakan tugasnya. Dengan ember bocornya, Setya mengambil air. Tentu saja sampai di rumah, air yang tersisa tinggal sedikit.
                Hari terus beralalu. Bulan telah berganti. Ayah Setya belum pulang. Kata teman sewkerjany yang mampir di warung Ibu, ayah Setya pindah ke kota lain karena bangunan di Semarang sudah selesai. Ia hanya menitipkan sedikit uang untuk Ibu. Ibu menyimpan uang itu 8ntuk berjaga – jaga jika Ayah tidak segera mendapatkan pekerjaan baru. Jadilah Setya tetap menggunakan ember bocornya.
                Hari minggupun Setya tetap bangun pagi. Ia bergegas ke sumur mengambil air. Kali ini ia harus menyediakan air lebih banyak, karena Ibu mendapat pesanan nasi dus dari tetangga. Sebetulnya, Rani kasihan melihat betapaberat tugas Setya. Ia
ingin membantu namun malu keluar rumah. Rani terus berdiri di balik jendela. Ia melihat langkah kakaknya yang mulai tertatih – tatih memikul air. Aneh! Tidak tampak sedikit pun kelelahan di wajah Setya. Ketika bertemu dengan para tetangga, Setya tetap tersenyum ramah menyapa.
                Pagi gerimis tipis turun membasahi bumi. Setya tetap mengambil air. Wajahnya ceria meskipun seluruh tubuhnya basah. Saat pulang, tangan kanannya menggenggam seikat kembang kertas warna – warni. Setelah meletakkan ember di tempatnya, Setya mencari ibunya.
                “Ibu, aku bawakan hadiah kembang indah. Bukankah hari ini Ibu ulang tahun? Selamat ulang tahun, Ibu,” ujar Setya seraya menyerahkan kembang. Ibu tertegun menatap Setya. Lalu tangannya merengkuh kepala Setya yang basah dalam pelukannya. Air matanya menitik haru.
                “Dari mana kau dapatkan kembang – kembang ini, Setya?” Tanya ibu Setya sambil terus memeluk Setya.
                “Dari pinggir jalan, Ibu. Aku memetiknya khusus untuk Ibu.” Jawab Setya
                “Oh, terima kasih. Semoga saat Ayah pulang dua hari lagibunga ini belum layu. Ayah harus melihat hadiah ulang tahun Ibu yang istimewa ini.”
                “Ibu tidak usah kuatir. Jika bunga ini layu, Setya akan memetik lagi. Bunga ini tumbuh subur di sepanjang jalan menuju sumur.”
                “Siapa yang menanamnya?” Tanya Ibu penasaran. Setya tersenyum penuh arti.
                “Saat air menetes dari ember bocor, Setya berfikir  saaing air terbuang percuma. Setya melihat kembang kertas tumbuh indah di halaman rumah Nardi. Setya minta benihnya dan menebarkannya di sepanjang jalan menuju sumur. Setiap hati tetesan air dari ember bocor itu menyirami benih. Akhirnya muncul tunah yang semakin hari semakin tinggi. Dengan mengamati tunas itu, Setya merasa tidak lelah meskipun harus bolak – balik mengangkut air. Apalagi setelah bunga – bunga bermunculan warna – warni. Wow, indah sekali, Bu!”
                Rani yang dari tadi mendengarkan pembicaraan Ibu dan Setya dari kamarnya tertegun. Hatinya terusik perkataan Ibunya barusan.
                “Jika ember bocor saja bisa membahagiakan Ibu kenapa diriku tidak?” Keesokan paginya saat langit masih gelap Rani tertati – tatih menyapu halaman. Ia mulai belajar keluar dari rumah dan melakukan sesuatu yang berguna. Setelah menyapu halaman Rani pergi ke dapur untuk mencuci piring.
                “Rani, kenapa kamu tumben mau membantu Ibu di warung?” Tanya Ibu.
                “Tidak apa – apa Bu, aku ingin membantu Ibu, aku tidak mau hanya menyusahkan Ibu saja. Aku sadar kalau sikap aku selama ini salah Bu.” Jawab Rani sambil terus menyuci piring.
                “Ngomong apa kamu ini Rani, mana mungkin kamu menyusahkan Ibu. Kamu itu anak Ibu dan Ibu pun menyadari akan keadaan kamu saat ini.” Tegas Ibu.
                “Sudahlah Bu, sekali – kali aku membantu Ibu kan tidak apa – apa!” Jawab Rani.
                Sambil menyiapkan masakan, Ibu menatap haru putrinya.

                 
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar